MANUSIA DAN KEBUDAYAAN
Kebudayaan
adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan,kesenian, moral,hukum,
adat istiadat dan kemampuan kemampuan lain serta kebiasaan-kebiasaan yang
didapatkan oleh manusia sebagai masyarakat.Kebudayaan adalah sebagai
manifestasi kehidupan setiap orang dan kehidupan setiap kelompok orang-orang
berlainan, maka manusia tidak hidup begitu saja ditengah alam, melainkan selalu
mengubah alam.
Kebudayaan
terdiri atas berbagai pola,bertingkah laku mantap,pikiran,perasan dan reaksi
yang diperoleh dan terutama diturunkan oleh simbol-simbol yang menyusun
pencapainya secara tersendiri dari kelompok-kelompok manusia :
• Sistem
Nilai dan gagasan utama sebagai hakekat kebudayaan terwujud dalam tiga system
kebudayaan secara terperinci:
• Sistem Ideologi:
meliputi etika norma,adapt istiadat,peraturan hukum yang berfungsi sebagai
pengarahan
• Sistem
sosial: meliputi hubungan dan kegiatan social dalam masyarakat
1.
PENGERTIAN
MANUSIA
Manusia pada dasarnya adalah makhluk
budaya yang harus membudayakan dirinya. Manusia sebagai makhluk budaya mampu
melepaskan diri dari ikatan dorongan nalurinya serta mampu menguasai alam
sekitarnya dengan alat pengetahuan yang dimilikinya. Hal ini berbeda dengan
binatang sebagai makhluk hidup yang sama-sama makhluk alamiah, berbeda dengan
manusia hewan tidak dapat melepaskan dari ikatan dorongan nalurinya dan terikat
erat oleh alam sekitarnya.
2.
HAKIKAT
MANUSIA
Manusia diciptakan oleh
Tuhan sebagai makhluk hidup yang paling sempurna. Manusia dilengkapi dengan
akal pikiran serta hawa nafsu. Tuhan menanamkan akal dan pikiran kepada manusia
agar dapat digunakan untuk kebaikan mereka masing – masing dan untuk orang di
sekitar mereka. Adapun hakikat manusia adalah sebagai berikut :
a. Makhluk
yang memiliki tenaga dalam yang dapat menggerakkan hidupnya untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya.
b. Individu
yang memiliki sifat rasional yang bertanggung jawab atas tingkah laku
intelektual dan sosial.
c. Mampu
mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif, mampu mengatur dan mengontrol
dirinya dan mampu menentukan nasibnya.
d. Makhluk
yang dalam proses menjadi berkembang dan terus berkembang tidak pernah selesai
(tuntas) selama hidupnya.
e. Individu
yang dalam hidupnya selalu melibatkan dirinya dalam usaha untuk mewujudkan
dirinya sendiri, membantu orang lain dan membuat dunia lebih baik untuk
ditempati .
f.
Makhluk Tuhan yang berarti ia adalah
makhluk yang mengandung kemungkinan baik dan jahat.
g. Individu
yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan turutama lingkungan sosial, bahkan ia
tidak bisa berkembang sesuai dengan martabat kemanusaannya tanpa hidup di dalam
lingkungan sosial.
3.
KEBUDAYAAN
BANGSA TIMUR
Bangsa timur erat
kaitannya dengan rasa sosialisasi dan rasa solidaritas yang tinggi. Misalnya
saling tolong menolong dan bergotong royong yang dilakukan bersama-sama. Hal
tersebut bagi bangsa timur merupakan suatu sikap yang bertujuan untuk
mempererat tali persaudaraan. Bangsa timur juga memiliki kebudayaan yang masih
kental dari negara atau daerah masing-masing. Masih ada adat-adat atau upacara
tertentu yang masih dilaksanakan oleh bangsa timur.
Misalnya bangsa Indonesia
masih banyak yang melaksanakan upacara-upacara adat dan tarian khas dari
masing-masing daerah. Contohnya daerah Bali yang masih melaksanakan tarian khas
daerahnya yaitu tarian pendet, kecak, tarian barong. Terbuka dengan negara lain
merupakan salah satu kepribadian yang dimilki oleh bangsa timur. Mereka
menjalin kerjasama antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain yang
tergabung dalam ASEAN.
4.
PENGERTIAN
KEBUDAYAAN
a. Melville
J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang
terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh
masyarakat itu sendiri. Di sebut dengan Cultural-Determinism. Herskovits
memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke
generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
b. Menurut
Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma
sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius,
dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang
menjadi ciri khas suatu masyarakat.
c. Menurut
Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di
dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat
istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota
masyarakat.
d. Menurut
Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya,
rasa, dan cipta masyarakat.
e. Menurut
Koentjaraningrat (2000:181) kebudayaan dengan kata dasar budaya berasal dari
bahasa sangsakerta ”buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti
“budi” atau “akal”. Jadi Koentjaraningrat, mendefinisikan budaya sebagai “daya
budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari
cipta, karsa dan rasa itu. Jadi, kebudayaan atau disingkat “budaya”, menurut
Koentjaraningrat merupakan “keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil
karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dengan belajar.”
f.
Havinghust dan Neugarten menyatakan bahwa
kebudayaan dapat didefinisikan sebagai cara bertingkah laku, etiket, bahasa,
kebiasaan, kepercayaan agama dan moral, pengetahuan, sikap dan nilai-nilai yang
merupakan hasil karya manusia seperti halnya bermacam-macam benda termasuk di
dalamnya alat-alat teknologi. Dari pendapat ini dapat kita ketahui bahwa
kebudayaan dapat berujud tingkah laku, hal-hal yang berupa rohaniah dapat pula
berupa barang-barang material.
Definisi Kebudayaan
adalah kebiasaan – kebiasaan suatu masyarakat yang dilakukan secara turun
temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan setiap daerah memiliki
kebudayaan sendiri – sendiri.
5.
UNSUR-UNSUR
KEBUDAYAAN
Unsur Kebudayaan sebagai berikut :
a. Sistem
Religi Kepercayaan manusia terhadap adanya Sang Maha Pencipta yang muncul
karena kesadaran bahwa ada zat yang lebih dan Maha Kuasa.
b. Sistem
Organisasi KemasyarakatanSistem yang muncul karena kesadaran manusia bahwa
meskipun diciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna namun tetap memiliki
kelemahan dan kelebihan masing – masing antar individu sehingga timbul rasa
utuk berorganisasi dan bersatu.
c. Sistem
PengetahuanSistem yang terlahir karena setiap manusia memiliki akal dan pikiran
yang berbeda sehingga memunculkan dan mendapatkan sesuatu yang berbeda pula.
d. Sistem
Mata Pencaharian Hidup dan Sistem – Sistem Ekonomi.Terlahir karena manusia memiliki
hawa nafsu dan keinginan yang tidak terbatas dan selalu ingin lebih.
e. Sistem
Teknologi dan Peralatan.Sistem yang timbul karena manusia mampu menciptakan
barang – barang dan sesuatu yang baru agar dapat memenuhi kebutuhan hidup.
f.
BahasaSesuatu yang berawal dari hanya
sebuah kode, tulisan hingga berubah sebagai lisan untuk mempermudah komunikasi
antar sesama manusia. Bahkan sudah ada bahasa yang dijadikan bahasa universal
seperti bahasa Inggris.
g. Kesenian.
Setelah memenuhi kebutuhan fisik manusia juga memerlukan sesuatu yang dapat
memenuhi kebutuhan psikis mereka sehingga lahirlah kesenian yang dapat
memuaskan.
6.
WUJUD
KEBUDAYAAN
Wujud kebudayaan dapat dibedakan
menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Wujud
Gagasan
Budaya
dalam wujud gagasan/ide ini bersifat abstrak dan tempatnya ada dalam alam
pikiran tiap warga penudukung budaya yang bersangkutan sehingga tidak dapat
diraba atau difoto.
Sistem
gagasan yang telah dipelajari oleh setiap pendukung budaya sejak dini sangat
menentukan sifat dan cara berpikir serta tingkah laku warga pendukung budaya
tersebut. Gagasan-gagasan inilah yang akhirnya menghasilkan berbagai hasil
karya manusia berdasarkan sistem nilai, cara berpikir dan pola tingkah laku. Wujud
budaya dalam bentuk sistem gagasan ini biasa juga disebut sistem nilai budaya.
b. Wujud
Perilaku (Aktivitas)
Budaya
dalam wujud perilaku berpola menurut ide/gagasan yang ada. Wujud perilaku ini
bersifat konkrit dapat dilihat dan di dokumentasikan (difoto atau difilm).
Contoh:
Petani sedang bekerja disawah, orang sedang menari dengan lemah gemulai, orang
sedang berbicara, dan lain-lain. Masing-masing aktivitas tersebut berada dalam
satu sistem tindakan dan tingkah laku.
c. Wujud
Benda Hasil Budaya
Semua
benda hasil karya manusia tersebut bersifat konkrit, dapat diraba dan difoto. Kebudayaan
dalam wujud konkrit ini disebut kebudayaan fisik.
Contoh:
bangunan-bangunan megah seperti piramida, tembok cina, menhir, alat rumah
tangga seperti kapak perunggu, gerabah dan lain-lain.
Dalam
kenyataan sehari-hari ketiga wujud tersebut yaitu gagasan, perilaku dan benda
hasil budaya tidak dapat terpisahkan dan saling mempengaruhi.
7.
ORIENTASI
NILAI KEBUDAYAAN
Kluckhohn dalam
Pelly (1994) mengemukakan bahwa
nilai budaya merupakan sebuah
konsep beruanglingkup luas
yang hidup dalam
alam fikiran sebahagian besar
warga suatu masyarakat, mengenai apa yang paling berharga dalam hidup.
Rangkaian konsep itu satu sama lain saling berkaitan dan merupakan sebuah
sistem nilai – nilai budaya.
Secara fungsional
sistem nilai ini
mendorong individu untuk
berperilaku seperti apa yang
ditentukan. Mereka percaya,
bahwa hanya dengan
berperilaku seperti itu mereka akan berhasil (Kahl, dalam Pelly:1994).
Sistem nilai itu menjadi pedoman yang melekat erat secara emosional pada diri
seseorang atau sekumpulan orang, malah merupakan tujuan hidup yang
diperjuangkan. Oleh karena itu, merubah sistem nilai manusia tidaklah mudah,
dibutuhkan waktu. Sebab, nilai – nilai tersebut merupakan wujud
ideal dari lingkungan
sosialnya. Dapat pula
dikatakan bahwa sistem nilai
budaya suatu masyarakat
merupakan wujud konsepsional dari kebudayaan mereka, yang seolah – olah
berada diluar dan di atas para individu warga masyarakat itu.
Ada
lima masalah pokok kehidupan manusia dalam setiap kebudayaan yang dapat
ditemukan secara universal. Menurut Kluckhohn dalam Pelly (1994) kelima masalah
pokok tersebut adalah: (1) masalah hakekat hidup, (2) hakekat kerja atau karya
manusia, (3) hakekat kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, (4) hakekat
hubungan manusia dengan alam sekitar, dan (5) hakekat dari hubungan manusia
dengan manusia sesamanya.
Berbagai kebudayaan
mengkonsepsikan masalah universal
ini dengan berbagai variasi
yang berbeda –
beda. Seperti masalah
pertama, yaitu mengenai hakekat hidup manusia. Dalam banyak
kebudayaan yang dipengaruhi oleh agama Budha misalnya, menganggap hidup itu
buruk dan menyedihkan. Oleh karena itu pola kehidupan masyarakatnya berusaha
untuk memadamkan hidup itu guna mendapatkan
nirwana, dan mengenyampingkan segala
tindakan yang dapat menambah rangkaian hidup kembali
(samsara) (Koentjaraningrat, 1986:10). Pandangan seperti
ini sangat mempengaruhi
wawasan dan makna
kehidupan itu secara keseluruhan.
Sebaliknya banyak kebudayaan yang berpendapat bahwa hidup itu baik. Tentu
konsep – konsep kebudayaan yang berbeda ini berpengaruh pula pada sikap dan
wawasan mereka.
Masalah
kedua mengenai hakekat kerja atau karya dalam kehidupan. Ada kebudayaan yang
memandang bahwa kerja itu sebagai usaha untuk kelangsungan hidup (survive)
semata. Kelompok ini kurang tertarik kepada kerja keras. Akan tetapi ada juga
yang menganggap kerja untuk mendapatkan status, jabatan dan kehormatan. Namun,
ada yang berpendapat bahwa kerja untuk mempertinggi prestasi. Mereka ini
berorientasi kepada prestasi bukan kepada status.
Masalah
ketiga mengenai orientasi manusia terhadap waktu. Ada budaya yang memandang
penting masa lampau, tetapi ada yang melihat masa kini sebagai focus usaha
dalam perjuangannya. Sebaliknya ada yang jauh melihat kedepan. Pandangan yang
berbeda dalam dimensi waktu ini sangat mempengaruhi perencanaan hidup
masyarakatnya.
Masalah
keempat berkaitan dengan kedudukan fungsional manusia terhadap alam. Ada yang
percaya bahwa alam itu dahsyat dan mengenai kehidupan manusia. Sebaliknya ada
yang menganggap alam sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa untuk dikuasai
manusia. Akan tetapi, ada juga kebudayaan ingin mencari harmoni dan keselarasan
dengan alam. Cara pandang ini akan berpengaruh terhadap pola aktivitas
masyarakatnya.
Masalah
kelima menyangkut hubungan antar manusia. Dalam banyak kebudayaan hubungan ini
tampak dalam bentuk orientasi berfikir, cara bermusyawarah, mengambil keputusan
dan bertindak. Kebudayaan yang menekankan hubungan horizontal (koleteral) antar
individu, cenderung untuk mementingkan hak azasi, kemerdekaan dan kemandirian
seperti terlihat dalam masyarakat – masyarakat eligaterian. Sebaliknya
kebudayaan yang menekankan hubungan vertical cenderung untuk mengembangkan
orientasi keatas (kepada senioritas, penguasa atau pemimpin). Orientasi ini
banyak terdapat dalam masyarakat paternalistic (kebapaan). Tentu saja pandangan
ini sangat mempengaruhi proses dinamika dan mobilitas social masyarakatnya.
Inti
permasalahan disini seperti yang dikemukakan oleh Manan dalam Pelly (1994)
adalah siapa yang harus mengambil keputusan. Sebaiknya dalam system hubungan
vertical keputusan dibuat oleh atasan (senior) untuk semua orang. Tetapi
dalam masyarakat yang
mementingkan kemandirian individual,
maka keputusan dibuat dan
diarahkan kepada masing – masing individu.
Meskipun
cara mengkonsepsikan lima masalah pokok dalam kehidupan manusia yang universal
itu sebagaimana yang tersebut diatas berbeda – beda untuk tiap masyarakat dan
kebudayaan, namun dalam tiap lingkungan masyarakat dan kebudayaan tersebut lima
hal tersebut di atas selalu ada.
Sementara
itu Koentjaraningrat telah menerapkan kerangka Kluckhohn di atas untuk
menganalisis masalah nilai budaya bangsa Indonesia, dan menunjukkan titik –
titik kelemahan dari
kebudayaan Indonesia yang
menghambat pembangunan nasional.
Kelemahan utama antara lain mentalitas meremehkan mutu, mentalitas suka
menerabas, sifat tidak percaya kepada diri sendiri, sifat tidak berdisiplin
murni, mentalitas suka mengabaikan tanggungjawab.
Kerangka
Kluckhohn itu juga telah dipergunakan dalam penelitian dengan kuesioner untuk
mengetahui secara objektif cara berfikir dan bertindak suku – suku di Indonesia
umumnya yang menguntungkan dan merugikan pembangunan.
Selain
itu juga, penelitian variasi orientasi nilai budaya tersebut dimaksudkan
disamping untuk mendapatkan gambaran sistem nilai budaya kelompok – kelompok
etnik di Indonesia, tetapi juga untuk menelusuri sejauhmana kelompok masyarakat
itu memiliki system orientasi nilai budaya yang sesuai dan menopang pelaksanaan
pembangunan nasional.
8.
PERUBAHAN
KEBUDAYAAN
Perubahan
sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya
dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang
terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai
dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan.
Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari
perubahan.
Perubahan
sosial budaya terjadi karena beberapa faktor. Di antaranya komunikasi; cara dan
pola pikir masyarakat; faktor internal lain seperti perubahan jumlah penduduk,
penemuan baru, terjadinya konflik atau revolusi; dan faktor eksternal seperti
bencana alam dan perubahan iklim,peperangan, dan pengaruh kebudayaan masyarakat
lain.
Ada
pula beberapa faktor yang menghambat terjadinya perubahan, misalnya kurang
intensifnya hubungan komunikasi dengan masyarakat lain; perkembangan IPTEK yang
lambat; sifat masyarakat yang sangat tradisional; ada kepentingan-kepentingan
yang tertanam dengan kuat dalam masyarakat; prasangka negatif terhadap hal-hal
yang baru; rasa takut jika terjadi kegoyahan pada masyarakat bila terjadi
perubahan; hambatan ideologis; dan pengaruh adat atau kebiasaan.
Ada beberapa factor yang menyebabkan
perubahan kebudayaan :
Faktor Intern antara lain:
a. Bertambah
dan berkurangnya penduduk (kelahiran, kematian, migrasi)
b. Adanya
Penemuan Baru:
c. Discovery:
penemuan ide atau alat baru yang sebelumnya belum pernah ada
d. Invention
: penyempurnaan penemuan baru
e. Innovation
/Inovasi: pembaruan atau penemuan baru yang diterapkan dalamkehidupan
masyarakat sehingga menambah, melengkapi atau mengganti yang telah ada.
Penemuan baru didorong oleh : kesadaran masyarakat akan kekurangan unsure dalam
kehidupannya, kualitas ahli atau anggota masyarakat
f.
Konflik yang terjadi dalam masyarakat
g. Pemberontakan
atau revolusi
Faktor ekstern antara lain:
a. perubahan
alam
b. peperangan
c. pengaruh
kebudayaan lain melalui difusi(penyebaran kebudayaan), akulturasi (pembauran
antar budaya yang masih terlihat masing-masing sifat khasnya), asimilasi
(pembauran antar budaya yang menghasilkan budaya yang sama sekali baru batas
budaya lama tidak tampak lagi)
9.
KAITAN
MANUSIA DAN KEBUDAYAAN
Hubungan manusia dan kebudayaan
Manusia dan kebudayaan merupakan dua
hal yang sangat erat berkaitan satu sama lain. Manusia di alam dunia
inimemegang peranan yang unik, dan dapat dipandang dari berbagai segi. Dalam
ilmu sosial manusia merupakan makhluk yang ingin memperoleh keuntungan atau
selalu memperhitungkan setiap kegiatan sering disebut homo economicus (ilmu
ekonomi). Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat berdiri sendiri
(sosialofi), Makhluk yang selalu ingin mempunyai kekuasaan (politik), makhluk
yan g berbudaya dan lain sebagainya.
-
Contoh hubungan manusia dan kebudayaan
Secara sederhana hubungan antara
manusia dan kebudayaan adalah : manusia sebagai perilaku kebudayaan, dan
kebudayaan merupakan obyek yang dilaksanakan manusia. Tetapi apakah sesederhana
itu hubungan keduanya ?
Dalani sosiologi manusia dan kebudayaan dinilai sebagai dwitunggal,
maksudnya bahwa walaupun keduanya berbeda tetapi keduanya merupakan satu
kesatuan. Manusia menciptakan kebudayaan, clan setclah kebudayaan itu tercipta
maka kebudayaan mengatur hidup manusia agar sesuai dcngannya. Tampak baliwa
keduanya akhimya merupakan satu kesatuan. Contoh sederhana yang dapat kita lihat adalah hubungan antara manusia dengan
peraturan - peraturan
kemasyarakatan. Pada saat awalnya peraturan itu dibuat oleh manusia,
setelah peraturan itu jadi maka manusia yang membuatnya hams patuh kepada
peraturan yang dibuatnya sendiri itu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
manusia tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan, karena kebudayaan itu merupakan
perwujudan dari manusia itu sendiri. Apa yang tercakup dalam satu kebudayaan
tidak akan jauh menyimpang dari kemauan manusia yang membuatnya.Apabila manusia
melupakan bahwa masyarakat adalah ciptaan manusia, dia akan menjadi terasing
atau tealinasi (Berger, dalam terjemahan M.Sastrapratedja, 1991; hal : xv)
Manusia dan kebudayaan, atau manusia
dan masyarakat, oleh karena itu mempunyai hubungan keterkaitan yang erat satu
sama lain. Pada kondisi sekarang ini kita tidak dapat lagi membedakan mana yang
lebih awal muncul manusia atau kebudayaan. Analisa terhadap keberadaan keduanya
hams menyertakan pembatasan masalah dan waktu agar penganalisaan dapat
dilakukan dengan lebih cermat.
- Pengertian Dialektis
Dialektika disini berasal dari dialog
komunikasi sehari-hari. Ada pendapat dilontarkan ke hadapan publik. Kemudian
muncul tentangan terhadap pendapat tersebut. Kedua posisi yang saling
bertentangan ini didamaikan dengan sebuah pendapat yang lebih lengkap. Dari
fenomen dialog ini dapat dilihat tiga tahap yakni tesis, antitesis dan
sintesis. Tesis disini dimaksudkan sebagai pendapat awal tersebut. Antitesis
yakni lawan atau oposisinya. Sedangkan Sintesis merupakan pendamaian dari
keduanya baik tesis dan antitesis. Dalam sintesis ini terjadi peniadaan dan
pembatalan baik itu tesis dan antitesis. Keduanya menjadi tidak berlaku lagi.
Dapat dikatakan pula, kedua hal tersebut disimpan dan diangkat ke taraf yang
lebih tinggi. Tentunya kebenaran baik dalam tesis dan antitesis masih
dipertahankan. Dalam kacamata Hegel, proses ini disebut sebagai aufgehoben.
Bentuk triadik dari dialektika Hegel
yakni tesis-antitesis-sintesis berangkat dari pemikir-pemikir sebelum Hegel.
Antinomi Kantian akan numena dan fenomena menimbulkan oposisi yang tidak
terselesaikan[1]. Kemudian Fichte dengan metode ”Teori Pengetahuan”-nya tetap
memunculkan pertentangan walaupun sudah melampaui sedikit apa yang dijabarkan
oleh Kant.
Dialektika sendiri sudah dikenal
dalam pemikiran Fichte. Bagi Fichte, seluruh isi dunia adalah sama dengan isi
kesadaran. Seluruh dunia itu diturunkan dari suatu asas yang tertinggi dengan
cara sebagai berikut: ”Aku” meng-ia-kan dirinya (tesis), yang mengakibatkan
adanya ”non-Aku” yang menghadapi ”Aku”. ”non Aku” inilah antitesis. Kemudian
sintesisnya adalah keduanya tidak lagi saling mengucilkan, artinya: kebenaran
keduanya itu dibatasi, atau berlakunya keduanya itu dibatasi. ”Aku” menempatkan
”non-Aku yang dapat dibagi-bagi” berhadapan dengan ”Aku yang dapat
dibagi-bagi”.
Dalam sistem filsafatnya, Hegel
menyempurnakan Fichte. Hegel memperdalam pengertian sintesis. Di dalam
sintesis baik tesis maupun antitesis
bukan dibatasi (seperti pandangan Fichte), melainkan aufgehoben. Kata Jerman
ini mengandung tiga arti, yaitu: a) mengesampingkan, b) merawat, menyimpan,
jadi tidak ditiadakan, melainkan dirawat dalam suatu kesatuan yang lebih tinggi
dan dipelihara, c) ditempatkan pada dataran yang lebih tinggi, dimana keduanya
(tesis dan antitesis) tidak lagi berfungsi sebagai lawan yang saling
mengucilkan. Tesis mengandung di dalam dirinya unsur positif dan negatif. Hanya
saja di dalam tesis unsur positif ini lebih besar. Sebaliknya, antitesis
memiliki unsur negatif yang lebih besar. Dalam sintesislah kedua unsur yang
dimiliki tesis dan antitesis disatukan menjadi sebuah kesatuan yang lebih
tinggi.
Dialektika juga dimaksudkan sebagai
cara berpikir untuk memperoleh penyatuan (sintesis) dari dua hal yang saling
bertentangan (tesis versus antitesis). Dengan term aufgehoben, konsep ”ada”
(tesis) dan konsep ”tidak ada” (antitesis) mendapatkan bentuk penyatuannya
dalam konsep ”menjadi” (sintesis)[2]. Di dalam konsep ”menjadi”, terdapat
konsep ”ada” dan ”tidak ada” sehingga konsep ”ada” atau ”tidak ada” dinyatakan
batal atau ditiadakan.
Dialektika menjadi sebuah
perkembangan Yang Absolut untuk bertemu dengan dirinya sendiri. Ide yang
Absolut merupakan hasil perkembangan. Konsep-konsep dan ide-ide bukanlah
bayangan yang kaku melainkan mengalir. Metode dialektika menjadi sebuah gerak
untuk menciptakan kebaruan dan perlawanan. Dengan tiga tahap yakni tesis,
antitesis dan sintesis setiap ide-ide, konsep-konsep (tesis) berubah menjadi
lawannya (antitesis). Pertentangan ini ”diangkat” dalam satu tingkat yang lebih
tinggi dan menghasilkan sintesis. Hal baru ini (sintesis) kemudian menjadi
tesis yang menimbulkan antitesis lagi lalu sintesis lagi. Proses gerak yang
dinamis ini sampai akhirnya melahirkan suatu universalitas dari gejala-gejala.
Itulah Yang Absolut yang disebut Roh dalam filsafat Hegel.
Bagi Hegel, unsur pertentangan
(antitesis) tidak muncul setelah kita merefleksikannya tetapi pertentangan
tersebut sudah ada dalam perkara itu sendiri. Tiap tesis sudah memuat antitesis
di dalamnya. Antitesis terdapat di dalam tesis itu sendiri karena keduanya
merupakan ide yang berhubungan dengan hal yang lebih tinggi. Keduanya diangkat
dan ditiadakan (aufgehoben) dalam sintesis.
Kenyataan menjadi dua unsur bertentangan namun muncul serentak. Hal ini
tidak dapat diterima oleh Verstandyang bekerja berdasakan skema-skema yang ada
dalam menangani hal-hal yang khusus. Vernunft-lah yang dapat memahami hal ini.
Vernunft melihat realitas dalam totalitasnya dan sanggup membuat sintesis dari
hal-hal yang bertentangan. Identifikasi sebagai realitas total menjadi cara
kerja Vernunft yang mengikuti prinsip dialektika.
Secara umum dapat kita lihat bahwa
dialektika Hegel memiliki tiga aspek yang perlu diperhatikan[3]. Pertama,
sistem dialektika ini berbentuk tripleks atau triadik. Kedua, dialektika ini
bersifat ontologis sebagai sebuah konsep. Aplikasinya adalah terhadap benda dan
benduk dari ada dan tidak sebatas pada konsep. Ketiga, dialektika Hegel
memiliki tujuan akhir (telos) di dalam konsep abstrak yang disebut Hegel
sebagai Idea atau Idea Absolut dan konkretnya pada Roh Absolut atau Roh
(Spirit, Geist).
Terdapat tiga elemen esensial akan
dialektika Hegel[4]. Pertama, berpikir itu memikirkan dalam dirinya untuk dan
oleh dirinya sendiri. Kedua, dialektika merupakan hasil berpikir terus menerus
akan kontradiksi. Ketiga, kesatuan kepastian akan kontradiksi tersublimasi di
dalam kesatuan. Itulah kodrat akan dirinya dialektika itu sendiri.
- 3 tahap proses dialektis
Proses dialektis ini tercipta melalui
tiga tahap yaitu :
1. Ekstemalisasi, yaitu proses dimana
manusia mengekspresikan dirinya dengan membangun dunianya. Melalui
ekstemalisasi ini masyarakat menjadi kenyataan buatan manusia
2. Obyektivasi, yaitu proses dimana
masyarakat menjadi realitas obyektif, yaitu suatu kenyataan yang terpisah dari
manusia dan berhadapan dengan manusia. Dengan demikian masyarakat dengan segala
pranata sosialnya akan mempengaruhi bahkan membentuk perilaku manusia.
3.
Intemalisasi, yaitu proses
dimana masyarakat disergap kembali oleh manusia. Maksudnya bahwa manusia
mempelajari kembali masyarakamya sendiri agar dia dapat hidup dengan .baik,
sehingga manusia menjadi kenyataan yang dibentuk oleh masyarakat.
Daftar Pustaka:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar