1. Sutan
Takdir Alisjahbana
“ Kebudayaan merupakan manifestasi
dari cara berfikir.”
Sutan Takdir Alisjahbana (STA), (lahir di Natal,
Sumatera Utara, 11 Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994 pada umur
86 tahun) adalah seorang budayawan, sastrawan dan ahli tata bahasa Indonesia.
Ia juga salah seorang pendiri Universitas Nasional, Jakarta.
·
Keluarga
Ibunya, Puti Samiah adalah seorang
Minangkabau yang telah turun temurun menetap di Natal, Sumatera Utara. Puti
Samiah merupakan keturunan Rajo Putih, salah seorang raja Kesultanan Indrapura
yang mendirikan kerajaan Lingga Pura di Natal. Dari ibunya, STA berkerabat
dengan Sutan Sjahrir, perdana menteri pertama Indonesia. Ayahnya, Raden
Alisyahbana gelar Sutan Arbi, ialah seorang guru. Kakek STA dari garis ayah,
Sutan Mohamad Zahab, dikenal sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan agama
dan hukum yang luas. Di atas makamnya tertumpuk buku-buku yang sering
disaksikan terbuang begitu saja oleh STA ketika dia masih kecil. Kabarnya,
ketika kecil STA bukan seorang kutu buku, dan lebih senang bermain-main di
luar. Setelah lulus dari sekolah dasar pada waktu itu, STA pergi ke Bandung,
dan seringkali menempuh perjalanan tujuh hari tujuh malam dari Jawa ke Sumatera
setiap kali dia mendapat liburan. Pengalaman ini bisa terlihat dari cara dia
menuliskan karakter Yusuf di dalam salah satu bukunya yang paling terkenal:
Layar Terkembang.
STA menikah dengan tiga orang istri
serta dikaruniai sembilan orang putra dan putri. Istri pertamanya adalah Raden
Ajeng Rohani Daha (menikah tahun 1929 dan wafat pada tahun 1935) yang masih
berkerabat dengan STA. Dari R.A Rohani Daha, STA dikaruniai tiga orang anak
yaitu Samiati Alisjahbana, Iskandar Alisjahbana, dan Sofyan Alisjahbana. Tahun
1941, STA menikah dengan Raden Roro Sugiarti (wafat tahun 1952) dan dikaruniai
dua orang anak yaitu Mirta Alisjahbana dan Sri Artaria Alisjahbana. Dengan
istri terakhirnya, Dr. Margaret Axer (menikah 1953 dan wafat 1994), STA
dikaruniai empat orang anak, yaitu Tamalia Alisjahbana, Marita Alisjahbana,
Marga Alisjahbana, dan Mario Alisjahbana.
Putra sulungnya, Iskandar Alisjahbana
pernah menjabat sebagai Rektor ITB, serta mertua dari Menteri Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas pada Kabinet Indonesia Bersatu
II, Armida Alisjahbana. Iskandar juga dikenal sebagai “Bapak Sistem Komunikasi
Satelit Domestik Palapa.” Sofjan dan Mirta Alisjahbana merupakan pendiri
majalah Femina Group.
·
Kehidupan
Setelah menamatkan sekolah HIS di
Bengkulu (1921), STA melanjutkan pendidikannya ke Kweekschool, Bukittinggi.
Kemudian dia meneruskan HKS di Bandung (1928), meraih Mr. dari Sekolah Tinggi
di Jakarta (1942), dan menerima Dr. Honoris Causa dari Universitas Indonesia
(1979) dan Universitas Sains Malaysia, Penang, Malaysia (1987).
Kariernya beraneka ragam dari bidang
sastra, bahasa, dan kesenian. STA pernah menjadi redaktur Panji Pustaka dan
Balai Pustaka (1930-1933). Kemudian mendirikan dan memimpin majalah Poedjangga
Baroe (1933-1942 dan 1948-1953), Pembina Bahasa Indonesia (1947-1952), dan Konfrontasi
(1954-1962). Pernah menjadi guru HKS di Palembang (1928-1929), dosen Bahasa
Indonesia, Sejarah, dan Kebudayaan di Universitas Indonesia (1946-1948), guru
besar Bahasa Indonesia, Filsafat Kesusastraan dan Kebudayaan di Universitas
Nasional, Jakarta (1950-1958), guru besar Tata Bahasa Indonesia di Universitas
Andalas, Padang (1956-1958), guru besar dan Ketua Departemen Studi Melayu
Universitas Malaya, Kuala Lumpur (1963-1968).
Sebagai anggota Partai Sosialis
Indonesia, STA pernah menjadi anggota parlemen (1945-1949), anggota Komite
Nasional Indonesia, dan anggota Konstituante (1950-1960). Selain itu, ia
menjadi anggota Société de linguistique de Paris (sejak 1951), anggota Commite
of Directors of the International Federation of Philosophical Sociaties
(1954-1959), anggota Board of Directors of the Study Mankind, AS (sejak 1968),
anggota World Futures Studies Federation, Roma (sejak 1974), dan anggota
kehormatan Koninklijk Institute voor Taal, Land en Volkenkunde, Belanda (sejak
1976). Dia juga pernah menjadi Rektor Universitas Nasional, Jakarta, Ketua
Akademi Jakarta (1970-1994), dan pemimpin umum majalah Ilmu dan Budaya
(1979-1994), dan Direktur Balai Seni Toyabungkah, Bali (1994).
STA merupakan salah satu tokoh
pembaharu Indonesia yang berpandangan liberal. Berkat pemikirannya yang
cenderung pro-modernisasi sekaligus pro-Barat, STA sempat berpolemik dengan
cendekiawan Indonesia lainnya. STA sangat gelisah dengan pemikiran cendekiawan
Indonesia yang anti-materialisme, anti-modernisasi, dan anti-Barat. Menurutnya,
bangsa Indonesia haruslah mengejar ketertinggalannya dengan mencari materi,
memodernisasi pemikiran, dan belajar ilmu-ilmu Barat.
·
Keterlibatan dengan Balai Pustaka
Setelah lulus dari Hogere Kweekschool
di Bandung, STA melanjutkan ke Hoofdacte Cursus di Jakarta (Batavia), yang
merupakan sumber kualifikasi tertinggi bagi guru di Hindia-Belanda pada saat
itu. Di Jakarta, STA melihat iklan lowongan pekerjaan untuk Balai Pustaka, yang
merupakan biro penerbitan pemerintah administrasi Belanda. Dia diterima setelah
melamar, dan di dalam biro itulah STA bertemu dengan banyak
intelektual-intelektual Hindia-Belanda pada saat itu, baik intelektual pribumi
maupun yang berasal dari Belanda. Salah satunya ialah rekan intelektualnya yang
terdekat, Armijn Pane.
·
Perkembangan Bahasa Indonesia
Dalam kedudukannya sebagai penulis
ahli dan kemudian ketua Komisi Bahasa selama pendudukan Jepang, STA melakukan
modernisasi Bahasa Indonesia sehingga dapat menjadi bahasa nasional yang
menjadi pemersatu bangsa.[5] Ia yang pertama kali menulis Tata Bahasa Baru
Bahasa Indonesia (1936) dipandang dari segi Indonesia, yang mana masih dipakai
sampai sekarang. Serta Kamus Istilah yang berisi istilah-istilah baru yang
dibutuhkan oleh negara baru yang ingin mengejar modernisasi dalam berbagai
bidang. Setelah Kantor Bahasa tutup pada akhir Perang Dunia kedua, ia tetap
mempengaruhi perkembangan Bahasa Indonesia melalui majalah Pembina Bahasa yang
diterbitkan dan dipimpinnya. Sebelum kemerdekaan, STA adalah pencetus Kongres
Bahasa Indonesia pertama di Solo. Pada tahun 1970, STA menjadi Ketua Gerakan
Pembina Bahasa Indonesia dan inisiator Konferensi Pertama Bahasa- bahasa Asia
tentang “The Modernization of The Languages in Asia (29 September-1 Oktober
1967).
Sampai akhirnya hayatnya, ia belum
mewujudkan cita-cita terbesarnya, yakni menjadikan Bahasa Melayu sebagai bahasa
pengantar kawasan di Asia Tenggara. Ia kecewa, Bahasa Indonesia semakin surut
perkembangannya. Padahal, bahasa itu pernah menggetarkan dunia linguistik saat
dijadikan bahasa persatuan untuk penduduk di 13.000 pulau di Nusantara. Ia
kecewa, bangsa Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, sebagian Filipina, dan
Indonesia yang menjadi penutur Bahasa Melayu gagal mengantarkan bahasa itu
kembali menjadi bahasa pengantar kawasan.
·
Karya-karyanya
Sebagai penulis:
o
Tak Putus Dirundung Malang (novel, 1929)
o
Dian Tak Kunjung Padam (novel, 1932)
o
Tebaran Mega (kumpulan sajak, 1935)
o
Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936)
o
Layar Terkembang (novel, 1936)
o
Anak Perawan di Sarang Penyamun (novel,
1940)
o
Puisi Lama (bunga rampai, 1941)
o
Puisi Baru (bunga rampai, 1946)
o
Pelangi (bunga rampai, 1946)
o
Pembimbing ke Filsafat (1946)
o
Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa
Indonesia (1957)
o
The Indonesian language and literature
(1962)
o
Revolusi Masyarakat dan Kebudayaan di
Indonesia (1966)
o
Kebangkitan Puisi Baru Indonesia (kumpulan
esai, 1969)
o
Grotta Azzura (novel tiga jilid, 1970
& 1971)
o
Values as integrating vorces in
personality, society and culture (1974)
o
The failure of modern linguistics (1976)
o
Perjuangan dan Tanggung Jawab dalam
Kesusastraan (kumpulan esai, 1977)
o
Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa
Indonesia dan Bahasa Malaysia sebagai Bahasa Modern (kumpulan esai, 1977)
o
Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia
Dilihat dari Segi Nilai-Nilai (1977)
o
Lagu Pemacu Ombak (kumpulan sajak, 1978)
o
Amir Hamzah Penyair Besar antara Dua Zaman
dan Uraian Nyanyian Sunyi (1978)
o
Kalah dan Menang (novel, 1978)
o
Menuju Seni Lukis Lebih Berisi dan
Bertanggung Jawab (1982)
o
Kelakuan Manusia di Tengah-Tengah Alam Semesta
(1982)
o
Sociocultural creativity in the converging
and restructuring process of the emerging world (1983)
o
Kebangkitan: Suatu Drama Mitos tentang
Bangkitnya Dunia Baru (drama bersajak, 1984)
o
Perempuan di Persimpangan Zaman (kumpulan
sajak, 1985)
o
Seni dan Sastra di Tengah-Tengah
Pergolakan Masyarakat dan Kebudayaan (1985)
o
Sajak-Sajak dan Renungan (1987).
o
Pemikiran Islam Dalam Menghadapi
Globalisasi Dan Masa Depan Umat manusia (1992)
Sebagai
editor:
o
Kreativitas (kumpulan esai, 1984)
o
Dasar-Dasar Kritis Semesta dan Tanggung
Jawab Kita (kumpulan esai, 1984).
Sebagai penerjemah:
o
Nelayan di Laut Utara (karya Pierre Loti,
1944)
o
Nikudan Korban Manusia (karya Tadayoshi
Sakurai; terjemahan bersama Soebadio Sastrosatomo, 1944)
o
Buku tentang Sutan Takdir Alisjahbana
o
Muhammmad Fauzi, Takdir Alisjahbana &
Perjuangan Kebudayaan Indonesia 1908-1994 (1999)
o
Abdul Karim Mashad Sang Pujangga, 70 Tahun
Polemik Kebudayaan, Menyongsong Satu Abad S. Takdir Alisjahbana (2006)
Penghargaan:
o
Tahun 1970 STA menerima Satyalencana Kebudayaan
dari Pemerintah RI.
o
STA adalah pelopor dan tokoh sastrawan
“Pujangga Baru”.
o
Honorary Member of Koninklijk Instituut
voor Taal-, Land en Volkenkunde, Netherlands (1976).
o
The Order of the Sacred Treasure, Gold and
Silver from The Emperor of Japan (1987).
o
Doktor Kehormatan dari School For Oriental
And African Studies London 2 Mei 1990
o
HC dari Universitas Indonesia
o
HC dari Universitas Sains Malaysia
2. Prof.
Dr. Kuntowijoyo
“Keris
dan tombak itu budaya agraris, sedangkan pistol itu budaya industrial. Dengan
keris dan tombak orang mesti kenal dengan terbunuh, sedangkan dengan pistol
orang dapat membunuh dari kejauhan.”
Prof. Dr. Kuntowijoyo (1943-2005) dikenal sebagai
seorang sejarawan, budayawan, maupun sastrawan yang sangat produktif. Ia banyak
menulis tentang sejarah, sastra, budaya, maupun agama, juga cerpen, puisi dan
novel, dan drama. Bahkan Ia masih produktif menulis buku ketika dalam keadaan
sakit selama bertahun-tahun. Dalam keadaan sakitnya juga, yaitu ketidakmampuan
bicara akibat penyakit yang menyerang otaknya, Ia masih diundang untuk mengisi
seminar, dengan dibantu istrinya, Susilaningsih, yang membacakan makalah ketika
presentasi.
Kuntowijoyo lahir di Sanden, Bantul, Yogyakarta pada
18 September 1943. Ia mendapatkan pendidikan formal keagamaan di Madrasah
Ibtidaiyah di Ngawonggo, Klaten. Setelah itu melanjutkan sekolah di Klaten
(SMP) dan Solo (SMA), melanjutkan kulah di Universitas Gadjah Mada dan lulus
menjadi sarjana sejarah pada tahun 1969. Gelar MA diperoleh dari Universitas
Connecticut, Amerika Serikat pada tahun 1974, yang disusul dengan gelar Ph.D
Ilmu Sejarah dari Universitas Columbia pada tahun 1980, dengan disertasi
tentang sejarah Madura yang berjudul Social Change in an Agrarian Society:
Madura 1850-1940. Disertasinya sudah diterjemahkan dan diterbitkan dengan judul
Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940.
Sejak SMA Ia sudah banyak membaca karya sastra baik
karya penulis Indonesia maupun luar negeri seperti Karl May, Charles Dickens,
dan Anton Chekov. Pada 1964 ia menulis novel pertamanya yang berjudul Kereta
Api yang Berangkat Pagi Hari, yang kemudian dimuat sebagai cerita bersambung di
harian Djihad tahun 1966. Pada 1968, cerpennya yang berjudul Dilarang mencintai
Bunga-bunga memperoleh hadiah pertama dari majalah Sastra.
Berbagai hadiah dan penghargaan atas karya-karyanya
sudah Ia terima. Diantaranya, naskah dramanya yang berjudul Rumput-rumput Danau
Bento memenangkan hadiah harapan dari BPTNI. Naskah drama lainnya, Topeng Kayu,
pernah pula mendapatkan hadiah dari Dewan kesenian Jakarta pada 1973. Buku
kumpulan cerita pendeknya yang juga diberi judul Dilarang Mencintai Bunga-bunga
mendapat Penghargaan Sastra dari Pusat Bahasa (1994). Cerpennya yang dimuat di
Kompas juga mendapat penghargaan sebagai cerpen terbaik versi Harian Kompas
pada 1995, 1996, 1997.
Kuntowijoyo mengabdi pada almamaternya, Universitas
Gadjah Mada sebagai pengajar di Fakultas Sastra dan menjadi Guru Besar. Sebagai
seorang akademisi Ia juga aktif menjadi pembicara, menulis, dan meneliti. Kumpulan
tulisan tentang pemikirannya baik mengenai baik sejarah, ilmu sejarah, sosial,
maupun budaya yang sudah diterbitkan Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi
(1991), Budaya dan Masyarakat, Pengantar Ilmu Sejarah, Metodologi Sejarah,
Dinamika Sejarah Umat Islam, Muslim Tanpa Masjid, Selamat Tinggal Mitos Selamat
Datang Realitas: Esai-esai Budaya dan Politik, Radikalisasi Petani: Esei-esei
Sejarah, dan lain-lain.
Kuntowijoyo meninggal dunia pada 22 Februari 2005 di
Rumah Sakit Dr Sardjito Yogyakarta akibat komplikasi penyakit sesak nafas,
diare, dan ginjal setelah untuk beberapa tahun mengalami serangan virus meningo
enchephalitis.
3. Emha
Ainun Nadjib
”Kalau saya kadang
bicara pakai bahasa Jawa, jangan dibilang Jawasentris. Saya cuman berekspresi
sebagai orang Jawa. Saya lahir dan dibesar di Jawa. Diperintah Tuhan jadi orang
Jawa. Maka saya mencintai dan mendalami budaya saya.”
·
Kehidupan pribadi
Emha merupakan anak keempat dari 15
bersaudara. Pendidikan formalnya hanya berakhir di semester 1 Fakultas Ekonomi
Universitas Gadjah Mada (UGM). Sebelumnya dia pernah ‘diusir’ dari Pondok
Modern Darussalam Gontor setelah melakukan ‘demo’ melawan pimpinan pondok
karena sistem pondok yang kurang baik, pada pertengahan tahun ketiga studinya.
Kemudian ia pindah ke Yogyakarta dan tamat SMA Muhammadiyah I. Istrinya yang
sekarang, Novia Kolopaking, dikenal sebagai seniman film, panggung, serta
penyanyi. Sabrang Mowo Damar Panuluh adalah salah satu putranya yang kini
tergabung dalam grup band Letto.
Lima tahun ia hidup menggelandang di
Malioboro, Yogyakarta antara 1970–1975, belajar sastra kepada guru yang
dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan
sangat memengaruhi perjalanan Emha. Masa-masa itu, proses kreatifnya dijalani
juga bersama Ebiet G Ade (penyanyi), Eko Tunas (cerpenis/penyair), dan EH.
Kartanegara (penulis).
Selain itu ia juga pernah mengikuti
lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas
Iowa, Amerika Serikat (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam,
Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985). Emha
juga pernah terlibat dalam produksi film RAYYA, Cahaya di Atas Cahaya (2011),
skenario film ditulis bersama Viva Westi.
·
Kajian islami
Dalam kesehariannya, Emha terjun
langsung di masyarakat dan melakukan aktivitas-aktivitas yang merangkum dan
memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik, sinergi ekonomi guna
menumbuhkan potensi rakyat. Di samping aktivitas rutin bulanan dengan komunitas
Masyarakat Padhang Bulan, ia juga berkeliling ke berbagai wilayah nusantara,
rata-rata 10 sampai15 kali per bulan bersama Gamelan Kiai Kanjeng, dan
rata-rata 40 sampai 50 acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung.
Kajian-kajian islami yang diselenggarakan oleh Cak Nun antara lain:
o
Jamaah Maiyah Kenduri Cinta sejak tahun
1990-an yang dilaksanakan di Taman Ismail Marzuki. Kenduri Cinta adalah salah
satu forum silaturahmi budaya dan kemanusiaan yang dikemas sangat terbuka,
nonpartisan, ringan dan dibalut dalam gelar kesenian lintas gender, yang
diadakan di Jakarta setiap satu bulan sekali.
o
Mocopat Syafaat Yogyakarta
o
Padhangmbulan Jombang
o
Gambang Syafaat Semarang
o
Bangbang Wetan Surabaya
o
Paparandang Ate Mandar
o
Maiyah Baradah Sidoarjo
o
Obro Ilahi Malang, Hongkong dan Bali
o
Juguran Syafaat Banyumas Raya
o
Maneges Qudroh Magelang
Dalam pertemuan-pertemuan
sosial itu ia melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai,
pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir,
serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.
·
Teater
Memacu kehidupan multi-kesenian Yogya
bersama Halim HD, jaringan kesenian melalui Sanggar Bambu, aktif di Teater
Dinasti dan menghasilkan repertoar serta pementasan drama. Beberapa karyanya:
o
Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang
pemerintahan ‘Raja’ Soeharto),
o
Patung Kekasih (1989, tentang
pengkultusan),
o
Keajaiban Lik Par (1980, tentang
eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern),
o
Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga
kepemimpinan modern).
o
Kemudian bersama Teater Salahudin
mementaskan Santri-Santri Khidhir (1990, di lapangan Gontor dengan seluruh
santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun),
o
Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara
massal di Yogya, Surabaya dan Makassar),
o
Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993).
o
Juga mementaskan Perahu Retak (1992,
tentang Indonesia Orba yang digambarkan melalui situasi konflik pra-kerajaan
Mataram, sebagai buku diterbitkan oleh Garda Pustaka), di samping Sidang Para
Setan, Pak Kanjeng, serta Duta Dari Masa Depan.
o
Dan yang terbaru adalah pementasan teater
Tikungan Iblis yang diadakan di Yogyakarta dan Jakarta bersama Teater Dinasti
o
Teater Nabi Darurat Rasul AdHoc bersama
Teater Perdikan dan Letto yang menggambarkan betapa rusaknya manusia Indonesia
sehingga hanya manusia sekelas Nabi yang bisa membenahinya (2012)
Bibliografi
·
Puisi:
o
“M” Frustasi (1976),
o
Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978),
o
Sajak-Sajak Cinta (1978),
o
Nyanyian Gelandangan (1982),
o
99 Untuk Tuhanku (1983),
o
Suluk Pesisiran (1989),
o
Lautan Jilbab (1989),
o
Seribu Masjid Satu Jumlahnya (
1990),lalalaw
o
Cahaya Maha Cahaya (1991),
o
Sesobek Buku Harian Indonesia (1993),
o
Abacadabra (1994),
o
Syair-syair Asmaul Husna (1994)
·
Essai/Buku
o
Dari Pojok Sejarah (1985),
o
Sastra yang Membebaskan (1985)
o
Secangkir Kopi Jon Pakir (1990),
o
Markesot Bertutur (1993),
o
Markesot Bertutur Lagi (1994),
o
Opini Plesetan (1996),
o
Gerakan Punakawan (1994),
o
Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996),
o
Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya
(1994),
o
Slilit Sang Kiai (1991),
o
Sudrun Gugat (1994),
o
Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995),
o
Bola- Bola Kultural (1996),
o
Budaya Tanding (1995),
o
Titik Nadir Demokrasi (1995),
o
Tuhanpun Berpuasa (1996),
o
Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997),
o
Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997),
o
Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997),
o
2,5 Jam Bersama Soeharto (1998),
o
Mati Ketawa Cara Refotnasi (1998),
o
Kiai Kocar Kacir (1998),
o
Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah
Kebangsaan (Penerbit Zaituna, 1998),
o
Keranjang Sampah (1998) Ikrar Husnul
Khatimah (1999),
o
Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000),
o
Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000),
o
Menelusuri Titik Keimanan (2001),
o
Hikmah Puasa 1 & 2 (2001),
o
Segitiga Cinta (2001),
o
Kitab Ketentraman (2001),
o
Trilogi Kumpulan Puisi (2001),
o
Tahajjud Cinta (2003),
o
Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun (2003),
o
Folklore Madura (Agustus 2005, Yogyakarta:
Penerbit Progress),
o
Puasa Itu Puasa (Agustus 2005, Yogyakarta:
Penerbit Progress),
o
Syair-Syair Asmaul Husna (Agustus 2005,
Yogyakarta; Penerbit Progress)
o
Kafir Liberal (Cet. II, April 2006,
Yogyakarta: Penerbit Progress),
o
Kerajaan Indonesia (Agustus 2006,
Yogyakarta; Penerbit Progress),
o
Jalan Sunyi EMHA (Ian L. Betts, Juni 2006;
Penerbit Kompas),
o
Istriku Seribu (Desember 2006, Yogyakarta;
Penerbit Progress),
o
Orang Maiyah (Januari 2007, Yogyakarta;
Penerbit Progress,),
o
Tidak. Jibril Tidak Pensiun (Juli 2007,
Yogyakarta: Penerbit Progress),
o
Kagum Pada Orang Indonesia (Januari 2008,
Yogyakarta; Penerbit Progress),
o
Dari Pojok Sejarah; Renungan Perjalanan
Emha Ainun Nadjib (Mei 2008, Yogyakarta: Penerbit Progress)
o
DEMOKRASI La Raiba Fih(cet ketiga, Mei
2010, Jakarta: Kompas)
·
Penghargaan
Bulan Maret 2011, Emha memperoleh
Penghargaan Satyalancana Kebudayaan 2010 dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia.[1] Menurut Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, penghargaan
diberikan berdasarkan pertimbangan bahwa si penerima memiliki jasa besar di
bidang kebudayaan yang telah mampu melestarikan kebudayaan daerah atau nasional
serta hasil karyanya berguna dan bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan
negara.
4. Dr.
Abdul Hadi WM
“Barat dan timur adalah guruku
Muslim, Hindu, Kristen, Buddha
Pengikut Zen atau Tao
Semua adalah guruku
Kupelajari dari semua orang saleh dan
pemberani
Rahasia cinta, rahasia bara menjadi
api menyala
Dan tikar sembahyang sebagai pelana
menuju arasy-Nya
Ya, semua adalah guruku
Ibrahim, Musa, Daud, Laotze
Sidharta, Zarathustra, Socrates, Isa
Almasih
Namun hanya pada Muhammad Rasulullah
Dan di masjid aku berkhidmat
Walau jejak-Nya
Kujumpai dimana-mana”
Prof. Dr. Abdul Hadi WM atau nama lengkapnya Abdul
Hadi Wiji Muthari (lahir di Sumenep, 24 Juni 1946; umur 69 tahun) adalah salah
satu sastrawan, budayawan dan ahli filsafat Indonesia. Ia dikenal melalui
karya-karyanya yang bernafaskan sufistik, penelitian-penelitiannya dalam bidang
kesusasteraan Melayu Nusantara dan pandangan-pandangannya tentang Islam dan
pluralisme.
·
Masa kecil
Abdul Hadi WM terlahir dengan nama
Abdul Hadi Wijaya. Ketika dewasa ia mengubah nama Wijaya menjadi Wiji. Ia lahir
dari garis keturunan peranakan Tionghoa di wilayah Sumenep, Madura. Ayahnya,
saudagar dan guru bahasa Jerman bernama K. Abu Muthar, dan ibunya adalah putri
keturunan Mangkunegaran bernama RA Sumartiyah atau Martiyah. Mereka dikaruniai
sepuluh orang anak dan Abdul Hadi adalah putra ketiga; tetapi kedua kakaknya
dan empat adiknya yang lain meninggal dunia ketika masih kecil. Anak sulung
dari empat bersaudara (semua laki-laki) ini pada masa kecilnya sudah berkenalan
dengan bacaan-bacaan yang berat dari pemikir-pemikir seperti Plato, Sokrates,
Imam Ghazali, Rabindranath Tagore, dan Muhammad Iqbal. Sejak kecil pula ia
telah mencintai puisi dan dunia tulis menulis. Penulisannya dimatangkan
terutama oleh karya-karya Amir Hamzah dan Chairil Anwar. Bersama teman-temannya
Zawawi Imron dan Ahmad Fudholi Zaini, Hadi mendirikan sebuah pesantren di kota
kelahirannya tahun 1990 yang diberi nama “Pesantren An-Naba”, yang terdiri dari
masjid, asrama, dan sanggar seni tempat para santri diajari sastra, seni rupa
(berikut memahat dan mematung), desain, kaligrafi, mengukir, keramik, musik,
seni suara, dan drama.
·
Pendidikan
Pendidikan dasar dan sekolah menengah
pertamanya diselesaikan di kota kelahirannya. Ketika memasuki sekolah menengah
atas, Abdul Hadi meninggalkan kota kelahirannya, pergi ke Surabaya untuk
menuntut ilmu di kota itu. Ia kemudian menempuh pendidikan di Fakultas Sastra,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta hingga tingkat sarjana muda, lalu pindah ke
studi Filsafat Barat di universitas yang sama hingga tingkat doktoral, namun
tidak diselesaikannya. Ia beralih ke Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran,
Bandung dan mengambil program studi Antropologi. Selama setahun sejak 1973-1974
Hadi bermukim di Iowa, Amerika Serikat untuk mengikuti International Writing
Program di Universitas Iowa, lalu di Hamburg, Jerman selama beberapa tahun
untuk mendalami sastra dan filsafat. Pada tahun 1992 ia mendapatkan kesempatan
studi dan mengambil gelar master dan doktor Filsafat dari Universiti Sains
Malaysia di Penang, Malaysia, di mana pada saat yang bersamaan ia menjadi dosen
di universitas tersebut. Sekembalinya ke Indonesia, Hadi menerima tawaran dari
teman lamanya Nurcholis Madjid untuk mengajar di Universitas Paramadina,
Jakarta, universitas yang sama yang mengukuhkannya sebagai Guru Besar Falsafah
dan Agama pada tahun 2008.
·
Karier
Keterlibatannya dalam dunia
jurnalistik diawali sejak menjadi mahasiswa, di mana Hadi menjadi redaktur Gema
Mahasiswa (1967-1968) dan redaktur Mahasiswa Indonesia (1969-1974). Kemudian ia
menjadi Redaktur Pelaksana majalah Budaya Jaya (1977-1978), redaktur majalah
Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) (1979-1981), redaktur Balai Pustaka
(1981-1983) dan redaktur jurnal kebudayaan Ulumul Qur’an. Sejak 1979 sampai
awal 1990-an ia menjabat sebagai redaktur kebudayaan harian Berita Buana. Tahun
1982 ia dilantik menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta dan ketika reformasi
bergulir, dalam pemilu multi partai 1999, atas desakan rekannya Dr. H. Hamzah
Haz, Abdul Hadi didesak maju sebagai wakil daerah wilayah pemilihan Jawa Timur
dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Tahun 2000 ia dilantik menjadi anggota
Lembaga Sensor Film dan sampai saat ini dia menjabat Ketua Dewan Kurator Bayt
al-Qur’an dan Museum Istiqlal, Ketua Majlis Kebudayaan Muhammadiyah, anggota
Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan anggota Dewan
Penasihat PARMUSI (Persaudaraan Muslimin Indonesia). Keterlibatan Abdul Hadi WM
dalam lingkaran aktivis Muslim telah dimulai sejak ia menjadi anggota Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) selama menjadi mahasiswa di UGM, kemudian ikut merintis
lahirnya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) pada tahun 1964 bersama-sama Amin
Rais dan sahabatnya sesama penyair, Slamet Sukirnanto
Sebagai pengajar, saat ini tercatat
sebagai dosen tetap Fakultas Falsafah Universitas Paramadina, dosen luar biasa
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, dan dosen pascasarjana Universitas
Muhammadiyah Jakarta dan The Islamic College for Advanced Studies (ICAS) London
kampus Jakarta.
Sebagai sastrawan, Hadi bersama
sahabat-sahabatnya antara lain Taufik Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Hamid
Jabar dan Leon Agusta menggerakkan program Sastrawan Masuk Sekolah (SMS), di
bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional dan Yayasan Indonesia, dengan
sponsor dari The Ford Foundation.
·
Karya
Sekitar tahun 1970-an, para pengamat
menilainya sebagai pencipta puisi sufis. Ia memang menulis tentang kesepian,
kematian, dan waktu. Seiring dengan waktu, karya-karyanya kian kuat diwarnai
oleh tasawuf Islam. Orang sering membandingkannya dengan sahabat karibnya
Taufik Ismail, yang juga berpuisi religius. Namun ia membantah. “Dengan
tulisan, saya mengajak orang lain untuk mengalami pengalaman religius yang saya
rasakan. Sedang Taufik menekankan sisi moralistisnya.”
Saat itu sejak 1970-an kecenderungan
estetika Timur menguat dalam sastra Indonesia kontemporeran, puitika sufistik
yang dikembangkan Abdul Hadi menjadi mainstream cukup dominan dan cukup banyak
pengaruh dan pengikutnya. Tampak ia ikut menafasi kebudayaan dengan puitika
sufistik dan prinsip-prinsip seni Islami,ikut mendorong masyarakat ke arah
pencerahan sosial dan spiritual yang dianggap sebagai penyeimbang pengaruh budaya
Barat hedonis dan sekuler.
Sampai saat ini Abdul Hadi telah
menulis beberapa buku penelitian filsafat di antaranya Kembali ke Akar Kembali
ke Sumber: Esai-esai Sastra Profetik dan Sufistik (Pustaka Firdaus, 1999),
Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya (Pustaka Firdaus, 1999), Tasawuf Yang
Tertindas, serta beberapa buku kumpulan puisi antara lain At Last We Meet
Again, Arjuna in Meditation (bersama Sutardji Calzoum Bachri dan Darmanto
Yatman), Laut Belum Pasang, Meditasi, Cermin, Tergantung pada Angin, Potret
Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur, Anak Laut Anak Angin, Madura: Luang
Prabhang dan Pembawa Matahari, sejumlah karya terjemahan sastra sufi dan sastra
dunia, terutama karya Iqbal, Rumi, Hafiz, Goethe, penyair sufi Persia dan
penyair modern Jepang. Selain itu, ia juga menulis beberapa buku dongeng
anak-anak untuk Balai Pustaka.
Puisi-puisinya telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris, Prancis, Belanda, Jepang, Jerman, Cina, Thailand, Arab,
Bengali, Urdu, Korea dan Spanyol.
·
Penghargaan
Bulan Maret 2011, Hadi memperoleh
Penghargaan Satyalancana Kebudayaan 2010 dari Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Menurut Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, penghargaan
diberikan berdasarkan pertimbangan bahwa si penerima memiliki jasa besar di
bidang kebudayaan yang telah mampu melestarikan kebudayaan daerah atau nasional
serta hasil karyanya berguna dan bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan
negara. Pada tahun 2014, Abdul Hadi
memperoleh Habibie Award di bidang sastra dan kebudayaan.
·
Daftar penghargaan
o
Hadiah Puisi Terbaik II Majalah Sastra
Horison (1969)
o
Hadiah Buku Puisi Terbaik Dewan Kesenian
Jakarta (1978)
o
Anugerah Seni Pemerintah Republik
Indonesia (1979)
o
S.E.A. Write Award, Bangkok, Thailand
(1985)
o
Anugerah Mastera (Majelis Sastra Asia
Tenggara) (2003)
o
Penghargaan Satyalancana Kebudayaan
Pemerintah Republik Indonesia (2010)
5. W.
S. Rendra
“ketika langit dan bumi bersatu,
bencana dan keberuntungan sama saja”
W.S. Rendra yang memiliki nama asli Willibrordus
Surendra Broto Rendra (lahir di Solo, Hindia Belanda, 7 November 1935 –
meninggal di Depok, Jawa Barat, 6 Agustus 2009 pada umur 73 tahun) adalah
sastrawan berkebangsaan Indonesia. Sejak muda, dia menulis puisi, skenario
drama, cerpen, dan esai sastra di berbagai media massa. Pernah mengenyam
pendidikan di Universitas Gajah Mada, dan dari perguruan tinggi itu pulalah dia
menerima gelar Doktor Honoris Causa. Penyair yang kerap dijuluki sebagai
“Burung Merak”, ini, tahun 1967 mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta.
Melalui Bengkel Teater itu, Rendra melahirkan banyak seniman antara lain Sitok
Srengenge, Radhar Panca Dahana, Adi Kurdi, dan lain-lain. Ketika kelompok teaternya
kocar-kacir karena tekanan politik, ia memindahkan Bengkel Teater di Depok,
Oktober 1985.
·
Kehidupan Pribadi
Rendra adalah anak dari pasangan R.
Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya
adalah seorang guru bahasa Indonesia dan bahasa Jawa pada sekolah Katolik,
Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya adalah penari
serimpi di Keraton Surakarta Hadiningrat. Masa kecil hingga remaja Rendra
dihabiskannya di kota kelahirannya.
·
Pendidikan
o
TK Marsudirini, Yayasan Kanisius.
o
SD s.d. SMA Katolik, SMA Pangudi Luhur
Santo Yosef, Solo (tamat pada tahun 1955).
o
Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra
dan Kebudayaan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
o
Mendapat beasiswa American Academy of
Dramatical Art (1964 – 1967).
·
Rendra sebagai sastrawan
Bakat sastra Rendra sudah mulai
terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan
kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek, dan drama untuk berbagai
kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas
panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca
puisi yang sangat berbakat.
Ia pertama kali mempublikasikan
puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya
pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah,
Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti
terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun
’60-an dan tahun ’70-an.
Kaki Palsu adalah drama pertamanya,
dipentaskan ketika ia di SMP, dan Orang-orang di Tikungan Jalan adalah drama
pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah duduk
di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk berkarya. Prof. A.
Teeuw, di dalam bukunya, Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa
dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam
salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan ’60-an, atau
Angkatan ’70-an. Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian
dan kebebasan sendiri.
Karya-karya Rendra tidak hanya
terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak karyanya yang
sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris,
Belanda, Jerman, Jepang, dan India.
Ia juga aktif mengikuti
festival-festival di luar negeri, di antaranya The Rotterdam International
Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival, New
Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York
Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry
Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo
Festival (1995).
·
Bengkel Teater dan Bengkel Teater Rendra
Pada tahun 1967, sepulang dari
Amerika Serikat, ia mendirikan Bengkel Teater yang sangat terkenal di Indonesia
dan memberi suasana baru dalam kehidupan teater di tanah air. Namun sejak 1977
ia mendapat kesulitan untuk tampil di muka publik baik untuk mempertunjukkan
karya dramanya maupun membacakan puisinya. Kelompok teaternya pun tak pelak
sukar bertahan. Untuk menanggulangi ekonominya Rendra hijrah ke Jakarta, lalu
pindah ke Depok. Pada 1985, Rendra mendirikan Bengkel Teater Rendra yang masih
berdiri sampai sekarang dan menjadi basis bagi kegiatan keseniannya..Bengkel
teater ini berdiri di atas lahan sekitar 3 hektar yang terdiri dari bangunan
tempat tinggal Rendra dan keluarga, serta bangunan sanggar untuk latihan drama
dan tari. Di lahan tersebut tumbuh berbagai jenis tanaman yang dirawat secara
asri, sebagian besar berupa tanaman keras dan pohon buah yang sudah ada sejak
lahan tersebut dibeli, juga ditanami baru oleh Rendra sendiri serta pemberian
teman-temannya. Puluhan jenis pohon antara lain, jati, mahoni, eboni, bambu,
turi, mangga, rambutan, jengkol, tanjung, singkong, dan lain-lain.
·
Penelitian tentang karya Rendra
Profesor Harry Aveling, seorang pakar
sastra dari Australia yang besar perhatiannya terhadap kesusastraan Indonesia,
telah membicarakan dan menerjemahkan beberapa bagian puisi Rendra dalam
tulisannya yang berjudul “A Thematic History of Indonesian Poetry: 1920 to
1974”. Karya Rendra juga dibicarakan oleh seorang pakar sastra dari Jerman
bernama Profesor Rainer Carle dalam bentuk disertasi yang berjudul Rendras
Gedichtsammlungen (1957—1972): Ein Beitrag Zur Kenntnis der Zeitgenossichen
Indonesischen Literatur. Verlag von Dietrich Reimer in Berlin: Hamburg 1977.
·
Penghargaan
o
Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama
dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta (1954)
o
Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956)
o
Anugerah Seni dari Pemerintah Republik
Indonesia (1970)
o
Hadiah Akademi Jakarta (1975)
o
Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan (1976)
o
Penghargaan Adam Malik (1989)
o
The S.E.A. Write Award (1996)
o
Penghargaan Achmad Bakri (2006).
·
Kontroversi pernikahan, masuk Islam dan
julukan Burung Merak
Baru pada usia 24 tahun, ia menemukan
cinta pertama pada diri Sunarti Suwandi. Dari wanita yang dinikahinya pada 31
Maret 1959 itu, Rendra mendapat lima anak: Theodorus Setya Nugraha, Andreas
Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Clara Sinta. Romantisme percintaan
mereka memberi inspirasi Rendra sehingga lahir beberapa puisi yang kemudian
diterbitkan dalam satu buku Empat Kumpulan Sajak.
Pada tahun 1971, Raden Ayu Sitoresmi
Prabuningrat ditemani oleh kakaknya R. A. Laksmi Prabuningrat, keduanya adalah
putri darah biru Keraton Yogyakarta mengutarakan keinginannya untuk menjadi
murid Rendra dan bergabung dengan Bengkel Teater. Tak lama kemudian Rendra
melamar Sito untuk menjadi istri kedua, dan Sito menerimanya. Peristiwa itu,
tak pelak lagi, mengundang berbagai komentar sinis seperti mengenai masuknya
Rendra menjadi Islam hanya untuk poligami. Tapi alasan yang lebih prinsipil
bagi Rendra, karena Islam bisa menjawab persoalan pokok yang terus
menghantuinya selama ini, yakni kemerdekaan individual sepenuhnya. Saya bisa
langsung beribadah kepada Allah tanpa memerlukan pertolongan orang lain.
Sehingga saya merasa hak individu saya dihargai, katanya sambil mengutip ayat
Quran, yang menyatakan bahwa Allah lebih dekat dari urat leher seseorang. Dari
Sitoresmi, ia mendapatkan empat anak: Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi
Srikandi, dan Rachel Saraswati
Sang Burung Merak kembali mengibaskan
keindahan sayapnya dengan mempersunting Ken Zuraida, istri ke-3 yang memberinya
dua anak, yaitu Isaias Sadewa dan Maryam Supraba. Tapi pernikahan itu harus
dibayar mahal karena tak lama sesudah kelahiran Maryam, Rendra diceraikan
Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti pada tahun 1981.Sejak tahun 1977 ketika ia
sedang menyelesaikan film garapan Sjumanjaya, Yang Muda Yang Bercinta ia
dicekal pemerintah Orde Baru. Semua penampilan di muka publik dilarang. Ia
menerbitkan buku drama untuk remaja berjudul Seni Drama untuk Remaja dengan
nama Wahyu Sulaiman. Tetapi di dalam berkarya ia menyederhanakan namanya
menjadi Rendra saja sejak 1975.
Beberapa karya
·
Drama
o
Orang-orang di Tikungan Jalan (1954)
o
Bib Bob Rambate Rate Rata (Teater Mini
Kata) – 1967
o
SEKDA (1977)
o
Selamatan Anak Cucu Sulaiman (dimainkan 6
kali)
o
Mastodon dan Burung Kondor (1972)
o
Hamlet (terjemahan dari karya William
Shakespeare, dengan judul yang sama)- dimainkan dua kali
o
Macbeth (terjemahan dari karya William
Shakespeare, dengan judul yang sama)
o
Oedipus Sang Raja (terjemahan dari karya
Sophokles, aslinya berjudul “Oedipus Rex”)
o
Lysistrata (terjemahan)
o
Odipus di Kolonus (Odipus Mangkat) (terjemahan
dari karya Sophokles,
o
Antigone (terjemahan dari karya Sophokles,
o
Kasidah Barzanji (dimainkan 2 kali)
o
Lingkaran Kapur Putih
o
Panembahan Reso (1986)
o
Kisah Perjuangan Suku Naga (dimainkan 2
kali)
o
Shalawat Barzanji
o
Sobrat
·
Kumpulan Sajak/Puisi
o
Ballada Orang-orang Tercinta (Kumpulan
sajak)
o
Blues untuk Bonnie
o
Empat Kumpulan Sajak
o
Sajak-sajak Sepatu Tua
o
Mencari Bapak
o
Perjalanan Bu Aminah
o
Nyanyian Orang Urakan
o
Pamphleten van een Dichter
o
Potret Pembangunan Dalam Puisi
o
Disebabkan Oleh Angin
o
Orang Orang Rangkasbitung
o
Rendra: Ballads and Blues Poem
o
State of Emergency
o
Do’a Untuk Anak-Cucu
6. Umar
Kayam
“Ada tingkat-tingkat perubahan
memang. Tetapi yang pokok kita rubah, bergeser terus kesana dan kesini karena
kita telah menjadi bagian-bagian dunia yang lain.”
Umar Kayam (lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932
– meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun) adalah seorang
sosiolog, novelis, cerpenis, dan budayawan juga seorang guru besar di Fakultas
Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1988-1997-pensiun).
·
Biografi
Umar Kayam (dalam konteks percakapan
antar teman biasa disapa UK), lulus sarjana muda di Fakultas Pedagogik
Universitas Gadjah Mada (1955), meraih M.A. dari Universitas New York, Amerika
Serikat (1963), dan meraih Ph.D. dari Universitas Cornell, Amerika Serikat
(1965). Ia pernah menjabat Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film
Departemen Penerangan RI (1966-1969), Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1969-1972),
Diektur Pusat Latihan Ilmu-ilmu Sosial Universitas Hasanudin, Ujungpandang
(1975-1976), anggota MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara), dosen
Universitas Indonesia, dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta,
senior fellow pada East-West Centre, Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat (1973),
Ketua Dewan Film Nasional (1978-1979), Guru Besar Fakultas Sastra Universitas
Gadjah Mada, anggota penyantun/penasihat majalah ”Horison” (mengundurkan diri
sejak 1 September 1993), bersama-sama dengan Ali Audah, Arif Budiman, Goenawan
Mohamad, Aristides Katopo, Direktur Pusat Penelitian Kebudayaan Universitas
Gadjah Mada (1977-), Ketua Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (1981-) anggota
Akademi Jakarta (1988-seumur hidup).
Umar Kayam termasuk yang banyak
melakukan terobosan dalam banyak bidang kehidupan yang melibatkan dirinya.
Ketika menjadi mahasiswa di Universitas Gadjah Mada, ia dikenal sebagai salah
seorang pelopor dalam terbentuknya kehidupan teater kampus. Ketika menjadi
Dirjen Radio dan Televisi, ia dikenal sebagai tokoh yang membuat kehidupan
perfilman menjadi semarak. Sewaktu menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta
(1969-1972), dia mempelopori pertemuan antara kesenian modern dengan kesenian
tradisional. Pada saat menjadi dosen di almamaternya, ia mengembangkan studi
sosiologis mengenai sastra, memperkenalkan metode grounded dengan pendekatan
kultural untuk penelitian sosial, memberikan inspirasi bagi munculnya
karya-karya seni kreatif yang baru, baik di bidang sastra, seni rupa, maupun seni
pertunjukan, mendirikan pasar seni di kampus, dan sebagainya. Ia juga pernah
memerankan Presiden Soekarno, pada film Pengkhianatan G 30 S/PKI. Umar Kayam
wafat pada 16 Maret 2002 setelah menderita patah tulang paha pangkal kiri. Umar
Kayam meninggalkan seorang istri dan dua anak.
·
Karya
o
Seribu Kunang-kunang di Manhattan
(kumpulan cerpen, 1972) mendapat hadiah majalah Horison (1966/1967) [3]
o
Totok dan Toni (cerita anak, 1975)
o
Sri Sumarah dan Bawuk (1975)
o
Seni, Tradisi, Masyarakat (kumpulan esai,
1981)
o
Sri Sumarah (kumpulan cerpen, 1985, juga
terbit dalam edisi Malaysia, 1981)
o
Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan
Budaya (bersama Henri Peccinotti, 1985)
o
Para Priyayi (novel, 1992) Mendapat Hadiah
Yayasan Buku Utama Departemen P dan K, diberikan pada tahun 1995)
o
Parta Karma (kumpulan cerpen, 1997
o
Jalan Menikung (novel, 2000)
o
Cerpen-cerpennya diterjemahkan oleh Harry
Aveling dan diterbitkan dalam Sri Sumarah and Other Stories (1976) dan From
Surabaya to Armageddon (1976).
·
Penghargaan
o
Umar Kayam memperoleh Hadiah Sastra Asean
pada tahun 1987.
7. Dr.
Nugroho Notosusanto
Bridjen TNI (Purn.) Prof. Dr. Nugroho Notosusanto
(lahir di Rembang, Jawa Tengah, 15 Juni 1930 – meninggal di Jakarta, 3 Juni
1985 pada umur 54 tahun) adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Kabinet
Pembangunan IV (1983-1985). Sebelumnya juga ia pernah menjadi Rektor
Universitas Indonesia (1982-1983). Ia berkarier di bidang militer dan
pendidikan. Selain itu ia juga terkenal sebagai sastrawan, yang oleh H.B.
Yassin digolongkan pada Sastrawan Angkatan 66.
·
Masa kecil
Ayah Nugroho bernama R.P. Notosusanto
yang mempunyai kedudukan terhormat, yaitu seorang ahli hukum Islam, Fakultas
Hukum, Universitas Gadjah Mada, dan seorang pendiri UGM. Kakak Nugroho
pensiunan Patih Rembang dan kakak tertua ayah Nugroho adalah pensiunan Bupati
Rembang. Pangkat patih, apalagi bupati sangat sulit dicapai rakyat pribumi pada
waktu itu di daerah pesisiran Rembang. Nugroho adalah anak pertama dari tiga
bersaudara.
·
Keluarga
Ketika Nugroho sedang giat-giatnya
dalam gerakan mahasiswa, ia berkenalan dengan Irma Savitri Ramelan (Lilik).
Perkenalan itu kemudian diteruskan ke jenjang perkawinan pada tangal 12
Desember 1960, di Hotel Indonesia. Istri Nugroho adalah keponakan ibu mantan
Presiden RI Prof. Dr. B.J. Habibie. Dari perkawinan itu mereka dikaruniai tiga
orang anak, yang pertama bernama Indrya Smita sudah tamat FIS UI, yang kedua
Inggita Suksma, dan yang ketiga Narottama.
·
Pendidikan
Pendidikan yang pernah diperoleh
Nugroho adalah Europeese Lagere School (ELS) tamat 1944, kemudian menyelesaikan
SMP di Pati Tahun 1951 tamat SMA di Yogyakarta. Setamat SMA ia masuk Fakultas
Sastra, Jurusan Sejarah, Universitas Indonesia, dan tamat tahun 1960. Tahun
1962 ia memperdalam pengetahuan di bidang Sejarah dan Filsafat di University of
London. Ketika tamat SMA, sebagai seorang prajurit muda ia dihadapkan pada dua
pilihan, yaitu meneruskan karier militer dengan mengikuti pendidikan perwira
ataukah menuruti apa yang diamanatkan ayahnya untuk menempuh karier akademis.
Ayahnya dengan tekun dan sabar mengamati jejaknya. Ternyata, setelah 28 tahun,
keinginan ayahnya terkabul meskipun sang ayah tidak sempat menyaksikan putranya
dikukuhkan sebagai guru besar FSUI karena ayahnya telah wafat pada tanggal 30
April 1979. Dengan usaha yang sebaik-baiknya, amanat ayahnya kini telah
diwujudkan meskipun kecenderungan pada karier militernya tidak pula tersisih.
Pada tahun 1977 ia memperoleh gelar doktor dalam ilmu sastra bidang sejarah
dengan tesis “The Peta Army During the Japanese Occupation in Indonesia”, yang
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Tentara Peta pada
Zaman Pendudukan Jepang di Indonesia. diterbitkan oleh penerbit Gramedia pada
tahun 1979. Nugroho mendapat pendidikan di kota-kota besar seperti Malang,
Jakarta, dan Yogyakarta.
·
Karier menulis
Nugroho dikenal sebagai penulis
produktif. Di samping sebagai sastrawan dan pengarang, ia juga aktif menulis
buku-buku ilmiah dan makalah dalam berbagai bidang ilmu, dan terjemahannya yang
diterbitkan berjumlah dua puluh satu judul. Buku-buku itu sebagian besar
merupakan lintasan sejarah dan kisah perjuangan militer. Wawasan yang mendalam
tentang sejarah perjuangan ABRI menyebabkan ia mampu mengedit film yang
berjudul Pengkhianatan G 30 S/PKI.
Di bidang keredaksian dapat dicatat
sejumlah pengalamannya, yaitu memimpin majalah Gelora, menjadi pemimpin redaksi
Kompas, anggota dewan redaksi Mahasiswa bersama Emil Salim Tahun 1955-1958,
menjadi ketua juri hadiah sastra, dan menjadi pengurus BMKN. Sewaktu di
perguruan tinggi ia menjadi koresponden majalah Forum, dan menjadi redaksi
majalah Pelajar.
Nugroho juga aktif dalam berbagai
pertemuan ilmiah baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Dalam tahun
1959-1976 tercatat empat kali pertemuan ilmiah internasional yang dihadirinya.
·
Karier di bidang pendidikan
Di bidang pendidikan, Nugroho banyak
memegang peranan penting. Ia pernah menjadi Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan
FSUI, menjadi Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan, UI. Tahun 1971-1985 Nugroho
menjadi wakil Ketua Harian Badan Pembina Pahiawan Pusat. Ketika Nugroho
dilantik menjadi Rektor UI, ia disambut dengan kecemasan dan caci maki para
mahasiswa UI. Mahasiswa menganggap Nugroho adalah seorang militer dan merupakan
orang pemerintah yang disusupkan ke dalam kampus untuk mematikan kebebasan
kehidupan mahasiswa.
Pada tanggal 19 Maret 1983, Nugroho
dilantik menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dalam
Kabinet Pembangunan IV. Ia dikenal sebagai orang yang kaya ide, karena semasa
menjadi menteri, ia mencetuskan banyak gagasan, seperti konsep wawasan
almamater, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa, Pendidikan Humaniora. Di
samping itu, banyak jasa-jasanya dalam dunia pendidikan karena ia yang mengubah
kurikulum menghapus jurusan di SMA, sistem seleksi penerimaan mahasiswa baru
(Sipenmaru). Walaupun Nugroho hanya dua tahun menjabat Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, banyak hal yang telah digarapnya, yaitu Universitas Terbuka (UT)
sebagai perguruan tinggi negeri yang paling bungsu di Indonesia. Program Wajib
Belajar, Orang Tua Asuh, dan pendidikan kejuruan di sekolah menengah. Nugroho
adalah satu-satunya menteri yang mengeluarkan Surat Keputusan mengenai tata
laksana upacara resmi dan tata busana perguruan tinggi. Akan tetapi, sebelum SK
ini terlaksana Nugroho telah dipanggil Tuhan Yang Maha Esa.
·
Penghargaan
Puncak pengakuan atas sumbangan
Nugroho terhadap bangsa Indonesia adalah diberikannya Bintang Dharma, Bintang
Gerilya, Bintang Yudha Dharma Nararya, Satyalancana Penegak.
·
Karier sebagai sastrawan
Pengarang yang dimasukkan H.B. Jassin
ke dalam golongan sastrawan Angkatan 66 termasuk juga sastrawan angkatan baru
(periode 1950-an) menurut versi Ajip Rosidi di antaranya adalah Nugroho
Notosusanto.
Di antara pengarang semasanya,
Nugroho dikenal sebagai penulis esai. Sebagian besar pengarang waktu itu hanya
menulis cerpen dan sajak, tetapi Nugroho banyak menulis esai. Nugroho menyelami
zamannya, terutama tentang sastra dan kebudayaan. Tulisan-tulisan yang berisi
pembelaan para sastrawan muda, yaitu ketika terdengar suara-suara tentang
krisis kesusastraan, menyebabkan Nugroho Notosusanto tertarik dalam dunia sastra
Indonesia. Nugroholah yang memprakarsai simposium sastra FSUI pada tahun 1953;
yang kemudian dijadikan tradisi tahunan sampai tahun 1958.
Bakat Nugroho dalam mengarang sudah
terlihat ketika masih kecil. Ia mempunyai kesenangan mengarang cerita bersama Budi
Darma. Cerita Nugroho selalu bernapas perjuangan. Pada waktu itu Republik
Indonesia memang sedang diduduki oleh Belanda. Dari cerita-cerita yang
dihasilkan Nugroho waktu itu, tampak benar semangat nasionalismenya. Menurut
ayahnya, Nugroho mempunyai jiwa nasionalisme yang besar.
Sebagai sastrawan, pada mulanya
Nugroho menghasilkan sajak dan sebagian besar pernah dimuat di harian Kompas.
Oleh karena tidak pernah mendapat kepuasan dalam menulis sajak, Nugroho
kemudian mengkhususkan diri sebagai pengarang prosa, terutama cerpen dan esai.
Karyanya pernah dimuat di berbagai majalah dan surat kabar seperti Gelora,
Kompas, Mahasiwa, Indonesia, Cerita, Siasat, Nasional, Budaya, dan Kisah. Di
samping itu, Nugroho juga menghasilkan karya terjemahan. Hasil terjemahan
Nugroho, yaitu Kisah Perang Salib di Eropa (1968) dari Dwight D. Eisenhower,
Crusade in Europe, Understanding Histotry: A Primer of Historical Method.
Terjemahan tentang bahasa dan sejarah, yaitu Kisah daripada Bahasa, 1971 (Mario
Pei, The Story of Language), dan Mengerti Sejarah. Karena Nugroho cukup lama
dalam kemiliteran, ia dapat membeberkan peristiwa-peristiwa militer, perang
serta suka-dukanya hidup, seperti dalam cerpennya yang berjudul Jembatan,
Piyama, Doa Selamat Tinggal, Latah, dan Karanggeneng. Dalam cerpen ini bahasa
yang digunakan padat dan sering ada kata-kata kasar. Nugroho juga dapat
bercerita dengan bahasa yang halus, seperti yang terdapat pada cerpen yang
berjudul Nini. Cerpen yang berjudul Nini ini bertema seorang anak yang cacat dan
ditinggal meninggal oleh ibunya, tetapi masih mengingat-ingat kebaikan ibunya.
Cerpen ini bahasanya sederhana dan isinya mudah dimengerti pembaca. Isi cerpen
ini tentang seorang ayah mencintai anaknya yang cacat dan yang mirip dengan
almarhumah istrinya.
Lingkungan pendidikan kata-kata kasar
agaknya memberi pengaruh pada sikap dan pandangan hidupnya, seperti sikap
terhadap dunia nenek moyang yang magis religius, seperti kita lihat dalam
cerpennya yang berjudul Mbah Danu, yaitu mengisahkan dukun “Mbah Danu” yang
terjadi di kota kelahiran pengarang. Dukun besar yang diakui keampuhannya di
seluruh daerah dalam menyembuhkan orang sakit dengan mengusir roh-roh,
setan-setan, dan jin-jin yang biasanya menghuni orang yang sedang sakit. Adanya
kepercayaan mistik ini kemudian menimbulkan pertentangan di kalangan ilmuwan
yang berpendidikan modern yang tak mau tahu tentang ilmu gaib. Begitu juga
seorang dokter yang melakukan tugasnya dengan perhitungan ilmiah.
Sebagai pengarang dan sebagai tentara
Nugroho dapat bercerita tentang suasana pertempuran, baik tentang tempat,
maupun peralatan peperangan. Pengarang mau berkata sejujurnya bahwa manusia itu
tidak bebas dari kesalahan, baik dia tentara, pelajar, maupun pemimpin, seperti
yang dilukiskannya dalam cerpen Pembalasan Dendam.
Kumpulan cerpen Hujan Kepagian berisi
enam cerita pendek yang semuanya menceritakan masa perjuangan menghadapi agresi
Belanda. Buku ini cukup memberi gambaran tentang berbagai segi pengalainan
manusia yang mengandung ketegangan, penderitaan, pendambaan, dan sesalan yang
sering terjadi dalam peperangan. Dari sini tampak bahwa Nugroho mempunyai bakat
observasi yang tajam.
Bukunya yang berjudul Tiga Kota
berisi sembilan cerita pendek yang ditulis antara tahun 1953-1954, judul Tiga
Kota diambil karena latar cerita terjadi di tiga kota, yaitu Rembang,
Yogyakarta, dan Jakarta, kota yang paling banyak memberinya inspirasi untuk
lahirnya cerita. Rembang melatari cerita kenangan Mbah Danu, Penganten, dan
Tayuban. Yogyakarta dan Jakarta melatari cerita Jeep 04-1001 Hilang dan Vickers
Jepang. Oleh karena itu, kumpulan cerpen tersebut diberi judul Tiga Kota.
Cerpen-cerpen yang terkandung dalam Tiga Kota ini pada umumnya sangat menarik,
tidak hanya karena penuturan cerita yang lancar dan dipaparkan dengan gaya akuan,
tetapi juga karena penulis sendiri mengalami peristiwa yang dituturkannya.
Dengan demikian, cerpen-cerpen itu kelihatan hidup. Kumpulan cerpen Tiga Kota,
ini sedikitnya merekam kehidupan pribadi penulis.
Dalam seminar kesusastraan yang
diselenggarakan oleh FSUI tahun 1963, Nugroho membawakan makalahnya yang
berjudul Soal Periodesasi dalam Sastra Indonesia. Ia mengemukakan bahwa sesudah
tahun 1950 ada periode kesusastraan baru yang tidak bisa lagi dimasukkan ke
dalam periodisasi sebelumnya. Menurut Nugroho, pengarang yang aktif mulai
menulis pada periode 1950-an adalah mereka yang mempunyai tradisi Indonesia
sebagai titik tolaknya, dan juga mempunyai pandangan yang luas ke seluruh
dunia.
·
Kematian
Nugroho meninggal dunia hari Senin, 3
Juni 1985 pukul 12.30, di rumah kediamannya karena serangan pendarahan otak
akibat tekanan darah tinggi. Ia adalah menteri keempat di Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan pada masa Orde Baru yang meninggal dunia dalam masa tugasnya. Ia
dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Bibliografi
·
Cerpen yang dibukukan:
o
Hidjau Tanahku, Hidjau Badjuku. 1963.
Jakarta: Balai Pustaka
o
Hudjan Kepagian. 1958. Jakarta: Balai
Pustaka
o
Rasa Sayange. 1961. Jakarta: Pembangunan
o
Tiga Kota. 1959. Jakarta: Balai Pustaka
o
Cerpen dalam majalah
·
Prosa
o
Pondok di Atas Bukit. Kompas untuk
generasi baru, 11.1, (51), 15—17.
o
Teratak. Kompas untuk generasi baru, 13.1,
(51), 33-34. (Nugroho NS)
o
Sebuah Pertemuan. Kompas untuk generasi
baru, 2.2, (52), 33-35.
o
Eksekusi. Madjalah Nasional, 44.4, (53),
20-21.
o
Gunung Kidul. Madjalah Nasional, 30.4,
(53), 20-2 1.
o
Jeep 04-1001 Hilang. Kisah, 1.1, (53), 7,
9-10.
o
Konyol. Madjalah Nasional, 33.4, (53),
20-22.
o
Pembalasan Dendam. Madjalah Nasional,
37.4, (53), 20-22.
o
Ideal Type. Kisah, 1.2, (54), 19-22
o
Mbah Danu. Kisah, 9.2, (54), 271-172.
o
Nokturne. Kisah, 12.2, (54), .365-368.
o
Piyama. Kisah, 6.2, (54), 177-178.
o
Puisi. Kisah, 7.2, (54), 210-211.
o
Raden Satiman. Kisah, 3.2, (54), 79-81.
o
Vickers Jepang. Kisah, 5.2, (54), 129-131.
o
Jembatan. Kisah, 8.3, (55), 16-22.
o
Partus. Mimbar Indonesia, 25.9, (55), 20-2
1, 24-25.
o
Senyum. Madjalah Nasional, 6,7.6, (55),
25-26,22-23,26.
o
Setan Lewat. Mimbar Indonesia, 6.9, (55),
20-21.
o
Panser. Siasat, 524.11, (57), 29-31, 34.
o
Tangga Kapal. Forum, 4-5.4 (57), 24,32.
o
Kepindahan. Siasat, 598.12, (58), 31-32.
o
Piano. Siasat, 574.12, (58), 24-27.
o
Ular. Siasat, 595.12, (58), 26-29.
o
Karanggenang. Siasat, 619.13, (59), 28-30.
o
Latah. Siasat, 626.13, (59), 23-24.
o
Sungai. Budaya, 8.8, (59), 276-279,
o
Bayi. Femina, 16, (73), 42-44.
o
Alun. Kompas untuk generasi baru, 1.2,
(52), 67.
o
Jerit di Malam Kelam. Madjalah Nasional,
18.3, (52), 17.
o
Pesan di Malam yang Penub Bintang.
Madjalah Nasional, 17.3, (52), 19.
o
Rancangan Requiem. Kompas untuk generasi
baru, 1.2, (52), 67.
o
Sebuah Pagi. Madjalah Nasional, 49.3,
(52), 21.
o
Sepotong Kenangan. Madjalah Nasional,
46.3, (52), 19.
o
Sesal. Kompas untuk generasi baru, 2.2,
(52), 36.
o
Tiwikraina. Madjalah Nasional, 47.3, (52),
19.
o
Adios Yogya. Madjalah Nasional. 10.4,
(53), 19.
o
Amerta. Madjalah Nasional, 16.4. (53), 19.
o
Bali. Budaya, 9, (53), 39.
o
Longka Pura. Madjalah Nasional, 16.4,
(53), 19.
o
Sebuah Malam Minggu. Madjalah Nasional,
14.4, (53), 19.
Daftar Pustaka:
Daftar Pustaka:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar